DPD RI Tinjau Implementasi Rehabilitasi Korban Narkotika di Bali, Wilayah Rentan Peredaran Internasional
baliutama.web.id Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI melakukan pengawasan lapangan untuk melihat langsung implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Fokus utama kunjungan ini adalah pelaksanaan rehabilitasi medis dan sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika di Bali, wilayah yang dikenal rawan karena posisinya sebagai pintu masuk internasional.
Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, menyampaikan bahwa pengawasan ini penting untuk memastikan amanat undang-undang benar-benar terlaksana di daerah. Terlebih lagi, Bali memiliki intensitas wisatawan yang sangat tinggi sehingga menjadi daerah yang rentan terhadap peredaran gelap narkotika.
Tantangan Implementasi UU Narkotika Masih Cukup Besar
Dalam peninjauan tersebut, Filep menjelaskan bahwa UU Narkotika sudah memberikan dasar hukum yang kuat terkait rehabilitasi pengguna maupun korban penyalahgunaan obat terlarang. Namun, berbagai tantangan masih menghambat pelaksanaan ideal di lapangan.
Beberapa kendala utama yang ditemukan antara lain:
- Keterbatasan sarana dan prasarana rehabilitasi, khususnya fasilitas rawat inap yang layak untuk menampung jumlah korban yang terus meningkat.
- Kurangnya tenaga medis terlatih, seperti psikiater, konselor adiksi, dan pekerja sosial yang memiliki kompetensi khusus dalam menangani pecandu.
- Minimnya koordinasi antar lembaga, baik tingkat daerah maupun pusat, sehingga proses rehabilitasi dan pendampingan korban tidak berjalan optimal.
Kendala tersebut membuat proses pemulihan bagi pengguna narkotika terkadang tidak mencapai hasil maksimal. Beberapa korban bahkan kembali terjerat penyalahgunaan karena tidak mendapatkan pendampingan yang memadai setelah proses rehabilitasi selesai.
Bali Sebagai Pintu Masuk Internasional Sangat Rentan
Filep juga menyoroti kerentanan Bali sebagai daerah wisata kelas dunia. Mobilitas wisatawan yang tinggi tidak hanya membawa dampak ekonomi, tetapi juga membuka peluang bagi jaringan peredaran narkotika internasional.
Bali memiliki banyak pintu masuk, baik melalui bandara, pelabuhan laut, maupun jalur transportasi antar pulau. Kondisi ini kerap dimanfaatkan sindikat narkotika untuk menjadikan Bali sebagai:
- titik transit,
- pusat distribusi,
- dan bahkan pasar konsumsi.
Peredaran narkoba dengan skala internasional selalu bergerak cepat dan adaptif. Karena itu, upaya penanganannya tidak cukup hanya bertumpu pada aparat keamanan. Diperlukan strategi lintas sektor yang melibatkan pemerintah daerah, instansi medis, tokoh masyarakat, organisasi sosial, dan sektor swasta.
Perlunya Upaya Kolaboratif dan Terintegrasi
Filep menegaskan bahwa peredaran narkotika di Bali tidak bisa ditangani secara parsial. Tingginya kerentanan wilayah menuntut pendekatan kolaboratif yang melibatkan seluruh unsur pemerintah dan masyarakat. Penanganan komprehensif menjadi kunci utama keberhasilan program rehabilitasi.
Beliau mencontohkan beberapa bentuk kerja sama yang perlu diperkuat:
- Koordinasi antara BNN, kepolisian, dinas kesehatan, dan lembaga sosial.
- Penambahan fasilitas rehabilitasi berbasis masyarakat yang mudah diakses tanpa stigma.
- Pembekalan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan menangani kasus adiksi.
- Kerja sama lintas daerah untuk mengawasi jalur masuk narkotika.
- Keterlibatan tokoh adat dan tokoh agama dalam memberikan edukasi pencegahan.
Dengan kerja sama yang lebih kuat, para korban dapat dipulihkan, dan peredaran gelap dapat ditekan secara signifikan.
Kebutuhan Penguatan Fasilitas Rehabilitasi
Salah satu fokus penting dalam pembahasan adalah keberadaan fasilitas rehabilitasi yang memadai. Bali sebagai daerah wisata besar memiliki jumlah kasus penyalahgunaan narkotika yang tidak sedikit. Namun ketersediaan fasilitas rehabilitasi belum sebanding dengan kebutuhan.
Beberapa daerah di Bali masih mengandalkan pusat rehabilitasi milik pemerintah pusat atau lembaga sosial tertentu. Akibatnya, proses rehabilitasi sering menghadapi:
- antrean panjang,
- keterbatasan tenaga profesional,
- kurangnya program lanjutan pascarehabilitasi.
Menurut Filep, daerah memerlukan fasilitas rehabilitasi yang lebih banyak dan tersebar merata. Rehabilitasi berbasis komunitas juga dianggap penting, karena korban akan lebih mudah pulih jika mendapat dukungan langsung dari lingkungan terdekat.
Harapan DPD RI: Rehabilitasi Harus Menyentuh Korban Secara Menyeluruh
DPD RI berharap sistem rehabilitasi di Bali bisa semakin kuat dan menyentuh korban secara menyeluruh, mulai dari tahap deteksi, penanganan medis, pemulihan psikologis, hingga pendampingan sosial. Rehabilitasi tidak hanya memulihkan fisik korban, tetapi juga memulihkan kehidupan sosial mereka.
Filep menyampaikan bahwa pecandu narkotika harus diposisikan sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Dengan pendekatan berbasis kesehatan dan sosial, korban dapat kembali berfungsi dalam masyarakat.
Program ini juga sangat penting untuk menekan angka kriminalitas yang sering muncul akibat ketergantungan narkotika.
Penutup: Bali Harus Jadi Model Penanganan Narkotika yang Terintegrasi
Dengan posisinya sebagai salah satu daerah paling rentan, Bali perlu menjadi model penanganan narkotika yang terintegrasi dan humanis. Kunjungan Komite III DPD RI menunjukkan komitmen untuk mempercepat perbaikan sistem rehabilitasi.
Dengan peningkatan sarana, tenaga medis terlatih, serta koordinasi antar lembaga, rehabilitasi di Bali diharapkan dapat menjawab tantangan besar peredaran narkotika. Pendekatan bersama antara pemerintah, aparat, masyarakat, dan keluarga menjadi kunci menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bebas dari narkotika.

Cek Juga Artikel Dari Platform radarjawa.web.id
